Penggusuran
merupakan pengusiran paksa baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunakan
sumber daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha. Penggusuran
tersebut kerap terjadi di wilayah urban, dengan dalih karena keterbatasan dan mahalnya lahan, sedangkan di wilayah rural penggusuran
biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti
bendungan dan lainnya. Berikut pola-pola penggusuran paksa yang kerap
terjadi, antara lain :
- Kekerasan dan penggunaan kelompok urban dan organisasi kepemudaan oleh pemerintah. Dalam hal ini warga biasanya akan bertahan bilamana terjadi penggusuran, bentrok fisik antara pihak penggusur dan warga seringkali terjadi dan mengakibatkan korban fisik dan jiwa. Oleh karena seringnya aparat-aparat seperti trantib, polisi dan militer biasanya dibantu oleh kelompok-kelompok preman, maka memaksa warga yang bertahan untuk terlibat dalam kekerasan;
- Penggusuran dan kriminalisasi. Dalam hal ini penggusuran dapat menyebabkan kriminalisasi, salah satu contoh dalam hal terjadi penggusuran, setelah dilakukan penggusuran maka akan dilakukan pemagaran terhadap lokasi yang ditertibkan. Dan warga merespon dengan dara merusak pagar yang kemudian dilanjutkan dengan kriminaslisasi;
- Korupsi dan penggusuran bersiklus proyek. Dalam hal ini penggusuran erat kaitannya dengan penggunaan anggaran dasar belanja daerah yang dialokasikan untuk biaya penentraman dan penertiban. Keadaan ini menjadikan penggusuran yang dilakuakan oleh pemerintah tidak sesuai dengan keinginannnya untuk menertibkan pemukiman ilegal, akan tetapi untuk membayar tenaga penggusur.
Penggurusan wilayah penduduk miskin di
kota besar memang menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan
keluarga, merusak kestabilan kehidupan mereka sehari-hari. Namun,
penggusuran juga merupakan hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk
liar. Hal ini kerap terjadi karena mereka tidak memiliki hak legal
formal atas tanah yang didiaminya. Terkait hal tersebut diatas, maka
dalam hal terjadi kasus penggusuran terdapat 2 (dua) pelanggaran yang
terjadi yakni :
- Pelanggaran terhadap hak sipil dan politik; dan
- Pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial serta budaya.
Pembebasan tanah sendiri diatur sesuai
dengan Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Nomor 508.2-5568-D.III
tanggal 6 Desember 1990 dan Surat Keputusan Menteri Agraria/ Kepala BPN
Nomor 22 Tahun 1993 tanggal 4 Desember 1993, yang mengatur bahwa
pembebasan hak atas tanah demi kepentingan swasta dapat dilakukan secara
musyawarah langsung dengan masyarakat, serta mengikutsertakan pihak
BPN. Namun, surat keputusan menteri tersebut, seringkali tidak
dihiraukan, sehingga pihak swasta lebih sering menempuh jalan memakai
jasa pihak ketiga, seperti camat, lurah dan kepala desa, serta preman,
untuk mengintimidasi para pemilik tanah agar mau menerima ganti rugi
yang lebih kecil daripada yang seharusnya, atau bahkan sangat kecil.
Penekanan dan intimidasi ini biasanya mendapatkan perlawanan dari pihak
pemilik tanah sehingga sering terjadi gejolak kekerasan dan menimbulkan
korban jiwa, sebagaimana yang kerap terjadi akhir-akhir ini. Beberapa
dampak negatif dari sebuah penggusuran paksa pun mengakibatkan
terciptanya tunawisma-tunawisma baru, ketidakamanan masa depan termasuk
tetiadaan keamanan atas lahan, kehilangan tempat tinggal dan terisolasi
dari komunitas, keluarga dan teman-teman, penderitaan ekonomi,
kehilangan pekerjaan atau peluang pekerjaan, kekerasan terhadap
perempuan, dan lain-lain.
sumber tanyahukum.com