Kurang atau
minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari
minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi
penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya
bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat
maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang
mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki
masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun
temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang
mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali.
Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun
sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si
A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah
tersebut.
Untuk tanah yang memiliki surat minim
itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa
dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa
catatan yang berada di Kantor Desa atau Kelurahan. Dalam masyarakat
masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku letter C,
karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan
sangat jarang dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini
sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak, dan
keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah
tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan
banyak terjadi permasalahan yang timbul dikemudian hari dikarenakan
kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun
kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari
Kutipan Letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat bukti
berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang
Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada
hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut
merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas
tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai
dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria,
maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya
hak milik Adat.
Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah
untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat
tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat
dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di
Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih
terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun
akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar
perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang
didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan.
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor :
SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk
D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa
wilayah Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sudah
ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul
permasalahan yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan
berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau
ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan
letter C sangat dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang
dianggap masyarakat sebagai alat bukti kepemilikan tanah.
Sebagai contoh, dalam hal seorang
warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini baru
berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah
dengan berpedoman pada keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran
pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan mencocokkan girik
tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak
atas tanah untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang
dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan Tidak Dalam Sengketa yang
diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen
alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas
kepemilikan tanah tersebut untuk memperoleh hak atas tanah pada Badan
Pertanahan yang disebut Sertipikat.
Pembahasan mengenai pengakuan hak milik
atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah sangatlah
penting, setidak-tidaknya karena :
- Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.
- Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.
- Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengakuan hak milik atas tanah yang
dituangkan kedalam bentuk sertipikat merupakan tanda bukti hak atas
tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 31 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran
tanah. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu
hak atas bidang tanah tertentu. Sertipikat tanah merupakan salinan buku
tanah dan didalamnya terdapat gambar situasi dan surat ukur serta memuat
data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup
keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup
keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak
pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data
yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data
fisik dalam surat ukur disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat
tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut sertipikat
sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada
penunjukan objek hak yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan
buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan pengurusan
sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas
tanah itu hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.
sumber tanyahukum.com